Qadar Allah dan Hikmah yang Tersembunyi

Takdir adalah ketentuan Allah yang berlaku atas seluruh makhluk-Nya, tanpa terkecuali.

Nasehat Oleh: Mukmin 08 Agustus 2025 11x dilihat
Qadar Allah dan Hikmah yang Tersembunyi

LDII Aceh - Takdir adalah ketentuan Allah yang berlaku atas seluruh makhluk-Nya, tanpa terkecuali. Keyakinan bahwa segala yang terjadi telah diatur oleh Allah SWT sejak awal menciptakan alam semesta adalah inti dari iman kepada qada dan qadar. Dalam surah Yunus, Allah menegaskan bahwa tidak ada satu pun peristiwa yang luput dari ketetapan-Nya. Kesadaran ini menjadi pondasi kokoh bagi hati yang ingin meraih ketenangan sejati.

Iman kepada takdir bukan sekadar menerima kenyataan, tetapi juga memahami bahwa di balik setiap peristiwa, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan, pasti ada hikmah. Firman Allah dalam QS. Al-Hadid ayat 22 menjelaskan: "Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah." Ayat ini mengajarkan bahwa segala hal telah direncanakan, dan kita hanya menjalani bagian dari skenario yang sempurna.

Para ulama sering mengingatkan, “Selama takdir masih di tangan Allah, maka tenanglah.” Kalimat ini sederhana namun dalam maknanya. Ia mengajarkan bahwa tidak ada alasan untuk merasa gelisah berlebihan terhadap masa depan. Jika kita percaya Allah Maha Bijaksana, maka apa pun yang terjadi pasti mengandung kebaikan yang kadang belum kita pahami saat ini.

Rasulullah SAW pernah bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Tirmidzi: "Ketahuilah, jika seluruh manusia bersatu untuk memberi manfaat kepadamu, mereka tidak akan mampu memberimu manfaat kecuali apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan jika mereka bersatu untuk menimpakan bahaya kepadamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang telah Allah tetapkan atasmu." Hadis ini memperkuat keyakinan bahwa takdir berada di luar kuasa makhluk, sepenuhnya milik Allah.

Namun, menerima takdir tidak berarti menyerah tanpa usaha. Islam mengajarkan keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal. Kita tetap diperintahkan berusaha, sebab kita tidak pernah tahu apa yang Allah tetapkan untuk kita. Ikhtiar adalah bentuk ketaatan, sementara ridha terhadap hasil adalah bentuk keimanan. Nabi SAW sendiri adalah teladan dalam hal ini - beliau berusaha maksimal dalam setiap urusan, tetapi hasilnya beliau serahkan sepenuhnya kepada Allah.

Dalam konteks surah Yunus, pesan yang tersirat sangat jelas, seorang mukmin hendaknya tidak larut dalam penyesalan atau prasangka buruk terhadap ketentuan Allah. Jika sesuatu tidak berjalan sesuai rencana, bukan berarti Allah tidak menyayangimu. Justru, mungkin itu adalah bentuk perlindungan dari bahaya yang tidak kamu sadari.

Kalimat "Qadarullahu wa maa syaa fa‘ala" — "Ini takdir Allah dan Dia berbuat sesuai kehendak-Nya" — adalah kunci ketenangan hati. Mengucapkannya saat musibah datang bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi wujud kepasrahan total kepada Sang Pencipta. Sebaliknya, berkata, “Seandainya saja…” hanyalah membuka pintu bagi penyesalan dan was-was yang tidak bermanfaat.

Allah menggunakan kata al-Hakiim (penuh hikmah) pada pembukaan surah Yunus. Ini menjadi penegasan bahwa setiap takdir yang terjadi mengandung kebijaksanaan. Meski mata kita hanya melihat dari satu sisi, Allah melihat keseluruhan gambaran. Tugas kita adalah berprasangka baik dan mencari pelajaran di balik setiap peristiwa.

Kisah Perang Badar adalah contoh nyata. Jumlah pasukan kaum Muslim jauh lebih sedikit dibanding musuh, tetapi kemenangan tetap diraih. Mengapa? Karena mereka telah berusaha maksimal, lalu menyerahkan urusan akhir kepada Allah. Inilah esensi iman kepada qadar: melakukan yang terbaik, lalu menerima hasil apa pun dengan lapang dada.

Iman kepada takdir juga melatih kita dari sikap sombong ketika sukses. Ketika berhasil, kita menyadari bahwa keberhasilan itu datang karena izin Allah, bukan semata hasil kerja keras. Dan saat gagal, kita tidak hancur oleh kekecewaan, sebab kita tahu Allah menyiapkan sesuatu yang lebih baik di waktu yang tepat.

Banyak orang terjebak dalam rasa takut terhadap masa depan atau menyesali masa lalu. Padahal, keduanya sudah berada di luar jangkauan kita. Masa lalu adalah takdir yang sudah terjadi, sementara masa depan adalah takdir yang belum terungkap. Yang kita miliki hanyalah saat ini, dan saat ini pun berada dalam genggaman Allah.

QS. At-Taghabun ayat 11 menjadi penegas: "Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya." Ayat ini memberi kabar gembira bahwa iman kepada takdir akan menuntun hati menuju ketenangan.

Hikmah terbesar dari iman kepada takdir adalah kebebasan dari kegelisahan. Kita tidak lagi terjebak dalam pertanyaan “Mengapa ini terjadi padaku?” melainkan beralih menjadi, “Apa yang bisa aku pelajari dari ini?” Perubahan sudut pandang ini menjadikan setiap kejadian — baik maupun buruk — sebagai jalan menuju kematangan iman.

Takdir baik dan buruk sama-sama ujian. Keberhasilan menguji rasa syukur, sementara kesulitan menguji kesabaran. Dua-duanya, jika dihadapi dengan iman, akan mengangkat derajat kita di sisi Allah. Rasulullah SAW bersabda dalam HR. Muslim: "Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, semua urusannya baik baginya, dan itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka itu baik baginya."

Mengambil hikmah dari takdir bukan berarti selalu memahami alasannya secara penuh. Kadang hikmah baru terlihat bertahun-tahun kemudian, atau bahkan hanya akan terungkap di akhirat. Namun keyakinan bahwa Allah tidak pernah salah dalam menetapkan takdir sudah cukup untuk membuat hati tenang.

Jika kita melihat kehidupan para nabi, semuanya menghadapi takdir yang berat: Nabi Nuh diuji dengan kaumnya, Nabi Ibrahim diuji dengan perintah penyembelihan anaknya, Nabi Yusuf diuji dengan penjara dan fitnah, dan Nabi Muhammad SAW diuji dengan pengusiran serta peperangan. Semua itu mereka jalani dengan kesabaran dan tawakal yang sempurna.

Ketenangan hati bukanlah datang dari situasi tanpa masalah, melainkan dari keyakinan bahwa setiap masalah berada di bawah kendali Allah. Maka, seorang mukmin yang memahami takdir akan mampu tersenyum di tengah badai kehidupan.

Surah Yunus mengajarkan kita untuk mengalihkan fokus dari “mengapa” menjadi “bagaimana.” Bukan bertanya mengapa sesuatu terjadi, tetapi bagaimana kita bisa meresponsnya dengan iman, sabar, dan syukur. Inilah sikap yang akan membawa kita pada derajat ridha terhadap Allah.

Pada akhirnya, iman kepada qadar adalah seni hidup yang menuntut keseimbangan antara usaha dan pasrah. Kita berusaha sekuat tenaga, namun tetap sadar bahwa hasil akhir ada di tangan Allah. Dengan cara ini, hidup menjadi lebih ringan, hati lebih lapang, dan jiwa lebih damai.

Hikmah di balik takdir bukanlah sesuatu yang selalu bisa kita lihat dengan mata, tetapi bisa kita rasakan dengan hati yang yakin. Dan hati yang yakin itulah yang akan menjadi sumber kebahagiaan sejati.

Komentar (0)

Tinggalkan Komentar

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!