Menjadi Orang Beruntung Tanpa Harus Bergelimang Harta

Jika seseorang sudah diberi petunjuk untuk memeluk dan menjalankan ajaran Islam, itu sudah menjadi nikmat besar yang tak ternilai.

Nasehat Oleh: Mukmin 08 Agustus 2025 0x dilihat
Menjadi Orang Beruntung Tanpa Harus Bergelimang Harta

LDII Aceh - Banyak orang menilai keberuntungan hanya dari ukuran harta. Semakin banyak kekayaan yang dimiliki, semakin tinggi pula label “beruntung” yang dilekatkan. Padahal, pandangan ini terlalu sempit jika dibandingkan dengan nilai-nilai yang diajarkan Islam.

Islam justru menawarkan kriteria keberuntungan yang jauh lebih dalam. Misalnya, mereka yang menyeru pada kebajikan dan mencegah kemungkaran sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 104. Tugas ini bukan hanya mulia, tetapi juga menjadi tanda orang yang benar-benar memperoleh keberuntungan sejati.

Keberuntungan dalam Islam tak hanya diukur dari gemerlap dunia. Ia juga tercermin dari konsistensi menjalankan ibadah, seperti menjaga shalat tepat waktu. Hal ini ditegaskan dalam surah Al-Hajj ayat 77. Artinya, keberuntungan sejati menuntut keterhubungan yang kuat dengan Allah SWT.

Memang, dalam percakapan sehari-hari kita mengenal istilah “langkah kanan” untuk menggambarkan nasib mujur, seperti mendapat rezeki tak terduga. Namun, keberuntungan seperti ini hanya salah satu sisi. Ada dimensi lain yang jauh lebih berharga, yakni ketika langkah kaki kita digunakan untuk berbuat baik.

Sebuah hadis riwayat Ibnu Majah menyampaikan pesan mendalam dari Rasulullah SAW: “Sungguh beruntung orang yang diberi petunjuk dalam Islam, diberi rezeki yang cukup, dan qana’ah dengan rezeki tersebut.” Inilah definisi keberuntungan yang lebih luas dan mendalam.

Keberuntungan dalam Islam berawal dari hidayah. Jika seseorang sudah diberi petunjuk untuk memeluk dan menjalankan ajaran Islam, itu sudah menjadi nikmat besar yang tak ternilai. Harta tidak bisa membeli petunjuk ini.

Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 102 mengingatkan agar orang beriman bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa dan menjaga iman hingga akhir hayat. Pesan ini menunjukkan bahwa keberuntungan terbesar adalah wafat dalam keadaan Muslim.

Oleh karena itu, keberuntungan sejati bukan hanya tentang “apa” yang kita miliki, melainkan “bagaimana” kita hidup. Orang yang istiqamah menjaga iman, mengerjakan kebaikan, dan mengajak orang lain untuk turut berbuat baik, jelas termasuk golongan orang yang beruntung.

Islam juga mengajarkan bahwa rezeki tidak selalu identik dengan materi. Banyak nikmat Allah yang tidak terlihat mata, namun sangat menentukan kebahagiaan hidup. Sehat, ketenangan hati, keluarga yang harmonis—semua itu adalah bentuk rezeki yang sering dilupakan.

Nikmat terbesar adalah iman dan Islam. Tanpa keduanya, semua kekayaan akan kehilangan makna, apalagi ketika ajal menjemput. Karena itu, rasa syukur harus menjadi nafas kehidupan setiap Mukmin.

Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulum ad-Din menegaskan bahwa hakikat syukur adalah kesadaran bahwa hanya Allah SWT yang memberi nikmat. Kesadaran ini mendorong seseorang untuk tidak terjebak dalam kesombongan harta.

Qanaah atau merasa cukup adalah kunci lain menuju keberuntungan. Orang yang qanaah tidak iri terhadap nikmat orang lain, karena yakin bahwa Allah telah mengatur pembagian rezeki dengan penuh hikmah.

Dalam QS Al-Isra ayat 30, Allah menjelaskan bahwa Dia melapangkan atau membatasi rezeki sesuai kehendak-Nya. Pengetahuan ini seharusnya membuat hati tenang dan jauh dari keluh kesah.

Keberuntungan yang diukur dari amal baik juga memiliki dampak sosial. Orang yang menyeru pada kebajikan akan menginspirasi lingkungan sekitarnya untuk melakukan hal yang sama, sehingga lahir masyarakat yang lebih harmonis.

Bahkan, orang yang secara materi sederhana tapi memiliki peran dalam menyebarkan nilai-nilai kebaikan bisa lebih berpengaruh daripada miliarder yang hanya fokus pada dirinya sendiri.

Kekayaan bisa habis, tetapi pahala dari amal baik akan terus mengalir, bahkan setelah seseorang meninggal dunia. Inilah bentuk investasi yang tidak pernah merugi.

Islam mengajarkan keseimbangan. Tidak salah menjadi kaya, asalkan kekayaan itu digunakan untuk jalan kebaikan. Namun, menjadikan kekayaan sebagai satu-satunya indikator keberuntungan jelas bertentangan dengan pandangan Islam.

Keberuntungan sejati adalah ketika kita hidup bermanfaat bagi orang lain, menjaga iman, dan merasa cukup dengan rezeki yang Allah berikan. Itulah standar yang diajarkan Rasulullah SAW.

Pada akhirnya, orang beruntung bukan sekadar mereka yang memiliki saldo rekening besar, melainkan mereka yang mengisi hidup dengan kebaikan, menyeru pada kebaikan, dan meninggalkan jejak kebaikan untuk generasi setelahnya.

Komentar (0)

Tinggalkan Komentar

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama berkomentar!